Percakapan Dini Hari

Ditengah deraian kopi dan susu anget pada Sabtu dini hari kami berempat yang beralmamater sama berbincang riang tentang kehidupan sehabis asrama. Bagaimana si anak ini berubah, makin sombong. Reputasi rusak karena bohong. Makin mantap leadership nya, si anak yang kuliah terbebani karena jiwanya pergi, dan berbagai berita lain seperti si anak ini yang hobinya minum alkohol dan kuat karena dia anak Pajak, tahu takaran yang pas bagaimana Vodka itu harusnya diteguk.

Saya sebagai mahasiswa ingusan yang hidupnya dihabiskan di kampus, organisasi AIESEC, UKM, dan asrama pun hanya melongo mendengar itu semua. Bagaimana tidak, sebagai mahasiswa di kampus Excellence with Morality mendengar mabuk-mabukan terutama dari teman sendiri itu sesuatu yang absurd, tidak bisa saya cerna. Apalagi saya tahu dia dulu di SMA seperti apa. Teman saya dengan bijaknya berkata, “Hati-hati, semakin kamu wujud asli seseorang belum tentu kamu bakal makin suka”. Saya yang jiwa optimis sejati hanya berharap itu hanyalah fase evolusi mereka menuju kedewasaan.

Banyak hal-hal yang kami omongkan di angkringan dini hari itu. Tentang bagaimana dulu kita dididik dengan slogal “Learn Today, Lead Tomorrow” dan berbagai macam bekal untuk menjadi pribadi unggulan di dunia orang dewasa. Community Service, Entrepreneurship dengan adanya YEP, Leadership dengan 7 Habbits, Leadership Camp, Pathway to Success dan berbagai macam mentoring yang bagi mahasiswa lainĀ adalah luxury.

Apa yang sudah dididik oleh sistem sekolah kami dulu harusnya bisa menjadikan kami sekarang ini pada tingkat implementatif nilai-nilai yang sudah diajarkan. Namun nyatanya, ketika kami lulus kami bagaikan macan yang lepas kandang. Masing-masing dari kami ingin show up, “Ini SAYA! Lihat SAYA! Saya sudah seperti ini!”. Itu adalah seakan yang dilakukan oleh kebanyakan lulusan dari sekolah kami dulu. Disatu sisi, sifat itu bagus untuk bekal nanti ketika kita kerja, namun ada nilai yang terlupakan. Social responsibility dalam bentuk social activity yang bisa diwujudkan dengan cara community service. Mengajar anak-anak jalanan, mengimplementasikan apa yang sudah kita pelajari di bangku kuliah. Nilai ini yang sepertinya terkikis.

Tak heran, dari pihak YPS pun mengumpulkan kami kembali untuk ditanyai hal yang sama. Kalian punya kekuatan. Kalian punya value yang beda dibandingkan teman kalian di bangku kuliah. Kalian sudah ngapain aja? Apa yang sudah kalian lakukan buat masyarakat? Kalian harusnya bisa bersatu, tanpa membedakan angkatan dan asal daerah untuk melakukan bigger thing. Berbakti kepada masyakarat. Giving back to the society.

Saya cermati, untuk melakukan hal tersebut yang harus dilakukan pertama kali adalah mempererat jalinan pertemanan. Siapapun yang nanti menjadi ketua SAA harus bisa merangkul semua kalangan sehingga semua elemen merasa memiliki dan merasa tergerak hatinya untuk melakukan apa yang menjadi visi organisasi itu. Isu yang diangkat pun harus menjadi perhatian pribadi anak itu. Contohnya saja, saya ingin Community Service yang berkaitan dengan energi. Maka ketika ada kegiatan itu saya yang akan dengan senang hati datang setiap hari untuk melaksanakannya.

Setelah pembicaraan dengan 3 teman saya itu saya yakin sekali kami itu bisa melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sejak dulu. Menjadi pribadi kami seperti di SMA dulu yang memiliki visi baik. Jangan sampai masa-masa SMA itu menjadi tinggal kenangan. Saya yakin kami bisa memberikan kontribusi lebih kepada Indonesia.