Tanah Surga katanya, Surga Sampah kata saya

Sampah ada dimana-mana. Baik itu di hutan, di laut. Sepertinya Indonesia ini sudah terkukung sampah. Berita liputan 6 menyebutkan bahwa produksi smapah Indonesia setiap tahunnya adalah 64 juta ton. Itu kalau dibagi bagi Surabaya kayaknya penuh dengan sampah. Sedih kalau ngelihat sampah ada dimana dan kita bingung dengan apa yang bisa dilakukan.

Bulan Oktober kemarin saya ikutan Ekspedisi Nusantara Jaya di Pulau Mandangin, Pulau Masakambing, dan Pulau Masalembu. Ketiga pulau ini masih masuk provinsi Jawa Timur, namun semuanya termasuk kedalam jajaran daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Kondisi pulau-pulau tersebut sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di Pulau Jawa.

Kami hadir di Pulau Mandangin

Permasalahan yang belum menjadi fokus namun sangat sulit diperbaiki adalah masalah sampah. Warga masyarakat disana memanfaatkan laut sebagai tempat pembuangan sampah tak terbatas. Sampah organik dan anorganik dibuang semua ke lautan biru. Setiap pagi, akan ada orang ke laut untuk membuang sampah mereka. Baik itu sampah dari perut maupun sampah plastik bekas konsumsi mereka.

Bayangkan saja pantai pasir putih yang bersih dihiasi bukan oleh kerang, namun sampah plastik. Lautan biru di pinggir pantai yang bisa dipakai untuk berenang berselam sampah plastik yang mencekik ikan-ikan.  Saya melihatnya itu sangat sedih dan frustasi.

Sampah plastik dan pakaian menghias pantai Mandangin

Dari sumber yang saya baca (klik disini). Sampah plastik baru bisa terurai setelah 20 tahun. Kalau di air bahkan bisa lebih lama lagi. Menurut riset Jenna R Jambeck (2015), Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik kedua ke laut setelah Cina. Hal ini tak mengherankan mengingat satu orang di Indoensia bisa menghasilkan 700 kantong sampah plastik dalam setahun. Sehingga tak mengherankan pantai dan laut kita sudah menjadi kandang sampah.

Sampah ini sangat berbahaya bagi ekosistem laut. Penyu tidak punya ruang bertelur, ikan tidak ada ruang untuk berenang. Ikan tak sengaja makan plastik yang bisa berakibat fatal. Koral kita juga bisa rusak.

Aksi kecil kami membersihkan Pantai Mandangin

Lalu solusinya bagaimana? Kuncinya ada pada kesadaran. Kita sadar untuk tidak buang sampah ke laut, kita sadar untuk membuang sampah pada tempatnya, kita sadar untuk mengolah sampah kita, kita sadar untuk mengurangi penggunaan plastik kita. Tantangan utamanya bukanlah beraksi, membersihkan sampah atau membangun tempat pengolahan. Tantangan utama adalah bagaimana masyarakat bisa sadar dan bergerak untuk melindungi lingkungannya, dimulai dari diri sendiri dahulu untuk melindungi surga kita, Indonesia.

 

Antara INDOLIVESTOCK2015 EXPO & FORUM dan Pulkam


2015-07-30 10.49.55-2
Jadi, tgl 30 Juli 2015 kemarin saya dan teman saya Fariz pulang kampung. Niatnya kami berdua akan naik kereta ekonomi Dhoho pukul 10.00 WIB, jadwal yang kami dapat saat browsing internet. Sehingga kami harus berangkat pukul 08.00 WIB.

Karena ada urusan masing-masing yang harus diselesaikan, kami berdua baru berangkat dari asrama pukul 09.00 pagi menaiki angkot. Ternyata ini pertama kali Fariz naik angkot menuju stasiun. angkot yang kami naiki menurut saya adalah angkot yang paling berani membalap mobil lain di jalanan. Strata angkot yang saya naiki sepertinya tingkat tinggi, karena supirnya membawa angkot ini seperti raja yang merendahkan kendaraan yang lain seperti serangga yang ingin dia injak. Bahkan, ketika lampu merah, angkot yang saya naiki berani sekali melewati garis batas lampu.

2015-07-30 09.59.49

Setelah sampai di stasiun dengan selamat dan hati dag dig dug, kami membeli tiket. Ternyata tiket yang kami dapa adalah tiket siang, pukul 12.10 WIB. Karena masih ada dua jam, kami memutuskan jalan-jlaan ke Grand City. Ketepatan sekali disana ada INDOLIVESTOCK2015 EXPO & FORUM.

2015-07-30 10.00.22

INDOLIVESTOCK2015 EXPO & FORUM merupakan pameran peternakan dan pertanian terbesar di Indonesia. Acara yang dilaksanakan di Grand City tanggal 29-31 Juli kemarin merupakan acara ke-10 dan diikuti oleh 33 negara dari berbagai macam perusahaan pertanian dan peternakan.

2015-07-30 10.32.49

Pameran ini menghadirkan teknologi dan perkembangan industry terbaru serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan jaringan serta membangun kerjasama bisnis dan kemitraan. Karena jelas sekali, jarang yang akan beli. Karena pasti mahal, mereka pun juga tidak ada yang jualan produk, lebih kepada membuka pusat informasi di setiap booth yang disediakan.

2015-07-30 10.19.38

Selain ada pameran, juga ada seminar gratis di lantai 3 Grand City Convention Center. Sayang sekali, kereta yang kami naiki akan berangkat 2 jam lagi sehingga kami tidak memiliki waktu yang pas untuk bisa bergabung seminar dan forum yang disajikan oleh pemateri internasional.

Kami pun berkeliling ke setiap booth mencari sesuatu yang menarik. Saying sekali, jurusan saya adalah Biomedical Engineering, sehingga saya tidak paham dengan apa yang dijelaskan dan saya juga tidak terlalu tertarik, meski saya penasaran karena ilmu baru yang bisa saya dapatkan. Kalau tidak karena teman saya yang jurusan Perikanan, saya tidak akan mengusulkan pergi kesitu.

2015-07-30 10.38.49

Meskipun begitu, menghadiri INDOLIVESTOCK2015 EXPO & FORUM memberikan saya informasi bahwa Indonesia tetap menjadi pasar yang besar untuk produk pertanian dan peternakan. Saya tidak tahu apakah Indonesia juga menjadi produsen besar dalam dua bidang ini, semoga saja iya.

#Insight: Mentalitas Bangsa

Inspiration/ˌɪn.spɪˈreɪ.ʃ ə n/ noun

 1. [ C or U ] someone or something that gives you ideas for doing something

 

Berikut ini merupakan kisah yang patut direnungkan bagi kita mahasiswa S1. Tulisan ini saya dapatkan dari Line grup SMA saya. Semoga menginspirasi

Dari Prof Dermawan Wibisono (TI 84, dosen SBM ITB)

Saat mendapat beasiswa ke Australia 1995, mahasiswa Indonesia sempat diinapkan 3 malam di rumah penduduk di suatu perkampungan untuk meredam shock culture yang dihadapi.

Saya bersama dengan kawan dari Thailand menginap di Balarat, di peternakan seorang Ausie yang tinggal suami istri bersama dengan anak tunggalnya. Luas peternakannya kira-kira sekecamatan Arcamanik, dengan jumlah sapi dan dombanya, ratusan, yang pemliknya sendiri tak tahu secara pasti, karena tak pernah menghitungnya dan sulit memastikannya dengan eksak.

Suatu sore saya terlibat perbincangan dengan anak tunggalnya di pelataran rumah di musim panas yang panjang, di bulan Janauari 1995.
Aussie:”Why so many people form your country take a PhD and Master degree here?”
Saya:” Why not? your country give a grant, not loan, for us? so it is golden opportunity for us to get higher degree. Why you just finish your education at Diploma level, even it is free for Aussie to take higher degree?”
Aussie:” I don’t need that degree, my goal is just to get a skill how to make our business broader. Now I am starting my own business in textile and convection, so I just need the technique to produce it, not to get any rubbish degree ..”

Dua puluh tahun kemudian saya masih termenung, berusaha mencerna fenomena yang terjadi di negeri ini. Begitu banyak orang tergila-gila pada gelar doktor, profesor, sama seperti tahun 1970an ketika banyak orang tergila-gila pada gelar ningrat RM, RP, GKRH.
Dan tentu orang yang berusaha mendapatkan gelar itu tak terlalu paham dengan substansi yang dikandung dalam gelar yang diisandang. Pernah dengan iseng kutanyakan kepada supervisorku di Inggris sana, saat mengambil PhD:
” Why don’t you take a professor?” tanya saya lugu kepada supervisorku yanng belum profesor padahal Doktornya cumlaude dan sudah membimbing 10 doktor baru.
Dengan serta merta ditariknya tangan kanan saya. Ditatapnya mata saya tajam-tajam. “Look,” katanya dengan muka serius: “..Professor is not a status symbol or level in expertise, but professor is mentality, is a spirit, is a way of life, is a wisdom, so get it, is just the matter of time if you have ready for all requirements… But have you ready with the consequence of it?”
Dan profesor saya lebih cepat, saya dapatkan dari pembimbing saya yang arif dan bijaksana itu.

Merenungi dua kejadian itu, semakin saya sadari, bahwa Indonesia memiliki segala sumber daya untuk maju, tapi mentality lah yang menjadi kendala utama.

Social sciences dan social behaviour menjadi hal terpenting dalam study yang harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan IQ, EQ dan SQ yang tinggi. Dan celakanya, sudah lama kadung diyakini di sini bahwa ilmu eksakta lebih sulit dari pada non exacta. Dan persyaratan masuk jurusan non exacta yang di Australia butuh IELTS 7.5 dibandingkan dengan engineering yang hanya butuh 6.0, berbanding terbalik dengan yang diterapkan di sini. Akibatnya, negara menjadi amburadul karena yang banyak mengatur negara dan pemerintahan bukanlah orang yang memilki kemampuan untuk itu.

Dari mana mesti mulai membenahi hal ini?
Pendidikan dasar dan Pendidikan Tinggi. Seperti Finlandia yang pendidikannya termasuk terbaik di dunia. Guru-guru di sana merupakan profesi terhormat dengan pemenuhan kebutuhan diri yang mencukupi. Jadi guru didapatkan dari the best of class dari level pendidikan yang ditempuh. Sehingga penduduk Finlandia sudah hampir 100% memiliki degree Master. Bukan didapatkan dari pilihan kedua, pilihan ketiga, atau daripada tidak bekerja.

Melihat acara Kick Andy beberapa hari lalu: Nelson Tansu dan Basuki, sebagai tamu undangan, adalah contoh konkrit, dua orang expert Indonesia yang qualified yang bekerja di negara USA dan Swedia, dan mereka tergabung dalam 800 orang expert Indonesia yang diakui di luar negeri dan bekerja di luar negeri. Artinya Indonesia bisa, Indonesia memiliki kemampuan. Yang menjadi masalah adalah how to manage them in Indonesia environment? How we arrange them, how to make synergy between government, industry, university to bring Indonesia together to be world class?

Melihat management pemerintahan yang amburadul? Tidak usah susah-susah menganalisis dengan integral lipat tiga segala. Lihat saja satu spek sederhana: gaji Presiden yang 62.5 juta dan gaji menteri yang 32.5 juta dibandingkan dengan gaji direktur BUMN dan lembaga keuangan yang mencapai lebih dari 100 juta per bulan, itu sudah kasat mata, bahwa menentukan gaji saja sudah tidak memperhatikan: range of responsibility, authority, impact to the Indonesia society, dan sebagainya, apalagi menentukan yang lain. Semua asal copy paste dari luar tanpa melihat esensi yang dikandungnya.

Aku termenung, mengingat pembicaranku dengan ayahanda saat kelulusanku dulu 26 tahun yang lalu. Kepada beliau kuutarakan niatku untuk merantau ke luar negeri, dan apa jawab beliau:”Tidak usah pergi, kalau semua anak Indonesia yang pintar ke luar negeri, siapa nanti yang akan mendidik orang Indonesa sendiri?”
Dan kini aku tergulung dalam idealisme, aktualisasi diri, dan kepatuhanku kepada orang tua.

Hal yang paling kutakuti dalam hidup adalah jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak sidiq, amanah, tabliq, fathonah. Dan terutama dipimpin oleh orang yang tidak lebih pandai, sehingga semuanya jadi kacau. Dan kekacauan terjadi di mana-mana, dalam berbagai level.

Wallahu alam bisawab

Hukuman Mati dan Narkoba

Setelah KAA berkahir tgl 24 April kemarin, muncul kembali isu hukuman mati drug convicts yang berasal dari berbagai negara. Jujur, saya sudah sedikit lupa dengan kasus ini karena sepertinya pernah hot sebulan yang lau kemudian hilang. Tidak ada berita ttg kelanjutan hukuman mati bagi mereka. Kalau seumpama saya menjadi mereka (drug convicts dengan hukuman mati), saya akan frustasi. Lebih baik tahu sekalian kapan akan mati daripada terus berharap akan ada keajaiban bahwa kita bisa hidup lebih lama. Sorry, I’m blubbering.

Narapidana narkoba yang dihukum mati berasal dari negara Perancis, Australia, Filipina, Ghana, Nigeria, dan Indonesia. 9 dari 10 pelaku jadwal hukuman mati mereka sudah keluar, sedangkan 1 pelaku yang dari Perancis berhasil menunda hukuman mati mereka.

Banyak negara yang sudah memohon kepada Indonesia agar mereka tidak dihukum mati. Namun Jokowi tetap keukeuh bahwa keputusannya untuk menghukum mati mereka sudah final. Bahkan, dia sudah tidak mau menjawab permohonan dari president Perancis. Hukuman mati itu nantinya akan dilaksanakan maksimal hari Selasa ini.

Jujur, saya tidak tahu posisi mana yang harus saya ambil. Karena saya cintaa damai dan tidak suka melihat orang dihukum mati tanpa memberikan kesempatan kedua atau hukuman lain yang setimpal. Karena there are many thing worst than death. Ada banyak hal yang lebih buruk daripada kematian.

Kalau sendainya saya yang menghukum mereka, akan saya lihat dulu seberapa besar kesalahan mereka. Jika memang cukup besar dan layak untuk dihukum, maka akan saya hukum dengan hukuman seumur hidup daripada dihukum mati. Bayangkan dihukum seumur hidup di negeri orang dengan masuk sel isolasi hampir setiap waktu akan cukup membuat dia gila (dari persekif saya). Dia tidak ada teman bicara kan? Memang mereka bisa bahasa Indonesia. Dia juga mendapatkan limitation kunjungan dari keluarga 1 bulan sekali. Kalau tidak seperti itu, mereka hukumannya diperingan jika mereka mau memberikan nama-nama pelaku narkoba lain di jaringan dia.

Hukuman mati bukan harus menjadi tahap untuk menghentikan aliran narkoba di Indonesia. Ada banyak hal yang lebih mendesak seperti pemberantasan korupsi yang hukumannya harus dipertegas lagi. Kalau menurut saya, saya lebih setuju pelaku korupsi dihukum mati dibanding pelaku narkoba. Karena kalau pelaku narkoba konsumenya kan sadar kalau mereka membeli narkoba. Tidak ada yang memaksa dia untuk memakai narkoba. Namun kalau koruptor dengan wajah innocent nya mereka merampok rakyat kecil hingga triliyunan rupiah.

Kesimpulan saya, 10 orang pelaku narkoba itu harusnya diperlakukan perseorangan. Harus ada tindakan khusus untuk setiap convicts. Pastinya kan ada yang benar-benar menyesal, ada yang biasa saja. Ada yg mau kooperatif dengan usaha Indonesia membasmi narkoba. Istilahnya ada banyak hal yang bisa ditukar agar hidup 10 orang pelaku itu bisa diselamatkan. Tapi who knows seberapa berat kah kesalahan mereka. Saya sendiri belum melakukan riset secara mendalam. Mungkin hal ini bisa saya gunakan untuk tugas makalah Filsafat.